Kiai Atau Penjual Agama ?

Rabu, 10 Agustus 2011

Siapa itu Kiai??

Label kiai sejatinya merupakan identitas spesifik. kiai adalah honoraris causa bagi figur tertentu atau religiutas dan kualitas ilmu keagamaan. gelar kiaipun tak berlaku di negara lain, hanya ada pada umat muslim di Indonesia.

menjadi kiai dan sebutan atasnya, murni berdasarkan aspirasi publik, tanpa intervensi dari pihak lain. termasuk media massa, tidak pula karena pengaruh dari tokoh tertentu dengan berbagai kepentingan politisnya. sebutan itu hadir, seiring dengan kapasitas keilmuan yang diakui dan dirasakan masyarakat. masalahnya kemudian adalah gelar itu sekarang secara perlahan bergeser dari yang sesungguhnya. oeh karena itu, agak sulit disaat dunia tergonjang ganjing seperti ini membedakan antara kia yang benar – benar bekerja dan berkhidmat untuk umat melalui agama dengan dukun.

Di dalam berbagai tayangan sinetron televisi kta, kiai  hanya tampil untuk melawan orang jahat atau setan. para kiai biasanya disimbolkan dengan baju dan pakaian serba putih, smbil membawa sajadah dan hanya keluar disaat orang menjelang ajal. yang lebih kurang ajarnya lagi, sebuah stasiun TV kerap menampilkan acara berbau klenik, menjadkan orang – orang yang lebih tepat dipanggil sebagai dukun seolah – olah sebagai kiai yag bertugas untuk menangkap jin atau hantu dirumah kosong lalu memasukkannya kedalam botol. celakanya lagi masyarakat sering silau oleh adegan dramatis seperti itu. selah – olah, jika ada orang bersorban putih bawa tasbih atau apapun itu, dia adalah kiai. tak pedui jika akhirnya dai adalah seorang dukun.

Kiai Instan

Sudah saatnya publik selektif menilai kualitas keilmuan seseorang. apa lagi jika itu menyangkut masalh keagamaan. masyarakat jangan terjebak oleh penampilan sekilas para kiai diatas pangung Show, apalagi bernama televisi.

pada saat yang sama para ahli agama pun perlu instropeksi diri dan kembali memahami kesucian misi dakwah. ini sekaligus untuk membendung derasnya kemunculan para kiai bajakan dan meminimalisir oknum komersialis berkedok dakwah. hanya saja, tampaknya hal ini sangat berat dalam hal penerapannya.

memang benar dalam islam ada anjuran untuk mengajak kebaikan meski satu ayat. masalahnya, dalam kondisi seperti ini, agak susah bagi masyarakat untuk membedakan mana kiai yang memiliki orisinalitas agama dengan juru dakwah instan, khusunya yang lahir dari rahim media yang bernama televisi. sudah bukan rahasia lagi bahwa untuk mengundan kiai made in televisi, seorang atau masyarakat harus mengeluarkan biaya tak sedikit. mereka harus menanggung biaya sang kiai bersama timmnya. bahkan, terkadang jatah tiket istri pun minta tuk ditanggung.

jika kasusnya sudah seperti ini maka tak ada bedanya mereka dengan pedagang agama. padahal kiai, adalah adalh ulama. dia panutan umat dan tempat berteduh jutaan hati yang galau untuk menemukan kembali cahaya dan sinar suci yang bernama agama. bagaimana sosok semacam ini memasang tarif??

dalam persektif tasawuf, ulama seperti ini sering disebut ulama su’ (buruk), mereka mengkomersilkan agama untuk menumpuk materi. naifnya lagi, dakwah baginya dalah pekerjaan, alias untuk kepentingan materi pribadi. inikah jati diri juru dakwah abadi ini ? Naudzu Billah mindzalik

sumber : majalah hidayah, 2007