Wahai Ibu, Sadarlah Dirimu

Sabtu, 06 Agustus 2011

Menjadi ibu pada hari ini tidaklah mudah. Terlebih dalam pandangan masyarakat sekarang, sosok ibu senantiasa dihadapkan pada kondisi dilematis.
Masyarakat cenderung memandang miring pada ibu yang “hanya” tinggal di dalam rumah, mengurus rumah dan anak. Namun ketika pelbagai permasalahan anak dan keluarga mulai bermunculan, ibu karir sering dijadikan kambing hitam sebagai pangkal dari segala persoalan.
Dengan pandangan masyarakat yang demikian, para ibu merespons dengan sikap beragam. Sebagian ada yang gerah dengan cap hanya sebagai ibu rumah tangga, sehingga ada keinginan untuk mencari kerja di luar rumah.
Sebagian lagi bergeming, dengan alasan toh dengan posisi mereka sebagai ibu rumah tangga, tidak hanya melulu di dalam rumah. Mereka masih bisa jalan-jalan ke mal, ikut arisan sana-sini, mengikuti perkembangan berita (baca: sinetron, telenovela) dan lain-lain.
Sedangkan untuk ibu yang bekerja di luar rumah, mereka pun beralasan, apakah anak harus selalu ditunggui. Bukankah yang penting kualitas pertemuannya, bukan kuantitasnya?
Dengan respons yang beragam dan masing-masing berusaha mempertahankan posisi, kaum ibu sering lupa bahwa status itu berkorelasi pada tumbuh kembangnya anak. Tidak sedikit fakta yang dijumpai di masyarakat bahwa ketidakpahaman ibu terhadap posisi mereka akan melahirkan generasi yang broken home, terjebak narkoba, seks bebas, mudah putus asa atau mengambil jalan pintas dengan bunuh diri, dan berbagai kejahatan yang tak pernah terpikirkan akan dilakukan oleh usia anak-anak dan remaja.

Ibu dalam Pandangan Islam
Saat ini umat manusia tengah terjangkiti “virus kapitalisme”. Virus ini memandang bahwa segala jenis pekerjaan yang tidak menghasilkan uang dianggap sebagai bentuk penindasan.
Demikian pula pandangan kaum kapitalis terhadap kaum ibu yang mempunyai tugas mengandung, menyusui, mendidik, dan mengatur rumah tangga tanpa memperoleh gaji sesen pun, dianggap sebagai kaum yang tertindas. Celakanya, hukum Islam dipandang sebagai pengokoh dan legitimator terhadap “penindasan” itu.
Sekatinya, apa yang dituduhkan terhadap ajaran Islam tidaklah terbukti sama sekali. Faktanya, hari ini yang mengatur kehidupan mereka bukanlah hukum-hukum Islam, namun mengapa justru Islam yang menjadi kambing hitam?
Sebaliknya, Islam justru memuliakan posisi ibu dan mendudukkan peran ibu di dalam keluarga yang boleh jadi lebih penting daripada peran kaum laki-laki.
Sebuah hadits yang cukup populer mengisahkan:
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak memperoleh pelayanan yang terbaik dariku?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Lalu siapa lagi?” Rasul menjawab, “Ibumu. Laki-laki itu bertanya lagi, “Lalu siapa lagi?” Rasul kembali menjawab, “Ibumu.“Lalu siapa lagi,” tanyanya. Nabi menjawab, “Kemudian ayahmu.
Anas Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Surga itu ada di bawah telapak kaki ibu.”
Maknanya, seorang mukmin dapat meraih ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan masuk surga, dengan jalan meraih keridhaan ibunya serta memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Sekalipun jika ibunya adalah seorang non-Muslim, anaknya tetap diwajibkan untuk memperlakukannya dengan baik dan merawatnya, selama hal itu tidak bertentangan dengan aturan dan hukum-hukum Allah.

Peran Strategis
Jika dikatakan keluarga memiliki peran strategis dalam proses pendidikan anak, bahkan bagi umat, maka peran ibulah yang mampu memberikan konstribusi besar bagi pendidikan anak sejak dini. Sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak, peran ibu sebagai pencetak generasi sejak dini tidaklah bisa digantikan oleh siapapun, bahkan oleh sekolah terbaik dan termahal sekalipun. Pasalnya, mendidik anak bukanlah baru dimulai ketika anak masuk usia sekolah, namun sudah dimulai sejak anak usia pra sekolah, bahkan saat masih ada dalam kandungan.
Menjadi ibu memanglah tidak ringan. Namun penghargaan yang tinggi dari Rasulullah terhadap peran ibu seakan bisa menjadi “obat bius” terhadap rasa berat.
Suatu saat Rasulullah pernah memberi nasihat kepada putrinya, Fathimah, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Beliau bersabda:

“Fathimah, jika wanita mengandung anak di perutnya, malaikat pasti memohonkan ampunan baginya dan Allah pasti menetapkan baginya setiap hari seribu kebaikan, menghapus seribu kejelekannya. Ketika wanita itu merasa sakit saat melahirkan, Allah akan menetapkan baginya pahala para pejuang di jalan Allah. Jika ia melahirkan bayi, keluarlah dosa-dosanya seperti ketika ia dilahirkan ibunya dan tidak akan dikeluarkan dari dunia dengan suatu dosa apapun. Di kuburnya ia akan ditempatkan di taman-taman surga, Allah memberikan pahala seribu ibadah haji dan umrah dan seribu malaikat memohonkan ampunan baginya hingga Hari Kiamat.”

Solusi
Solusi praktis untuk memberdayakan fungsi ibu sebagi pendidik pertama dan utama saat ini adalah mengajak para ibu untuk membina diri, mengoptimalkan peran sebagai pengatur rumah tangga dan mendidik anak-anak dengan penuh kasih sayang.
Satu hal yang harus disadari bahwa keberhasilan dari pelaksanaan tugas seorang ibu ditentukan pula oleh lingkungan masyarakat yang kondusif. Oleh karena itu, seyogyanya ibu peka terhadap perubahan-perubahan masyarakat di lingkungan sekitarnya.
Dengan cara di atas, ibu akan dapat berperan aktif membantu menyelesaikan persoalan dirinya dan mengarahkan perubahan masyarakatnya ke arah yang positif (amar ma’ruf). Dan pada saat yang sama, berjuang untuk menghentikan setiap jenis kebiasaan/kecenderungan umum yang membawa kehancuran dan malapetaka, yaitu kebiasaan yang bertentangan dengan perintah Allah (nahi munkar). Wallahu alam.
Oleh: Retno Sukmaningrum, Ketua Lembaga Bina Keluarga Qathrun Nada

Publikasi:  Majalah Suara Hidayatullah (Rubrik Mar'ah)

0 komentar:

Posting Komentar