Menjadi
ibu pada hari ini tidaklah mudah. Terlebih dalam pandangan masyarakat
sekarang, sosok ibu senantiasa dihadapkan pada kondisi dilematis.
Masyarakat cenderung memandang
miring pada ibu yang “hanya” tinggal di dalam rumah, mengurus rumah dan
anak. Namun ketika pelbagai permasalahan anak dan keluarga mulai
bermunculan, ibu karir sering dijadikan kambing hitam sebagai pangkal dari segala persoalan.
Dengan
pandangan masyarakat yang demikian, para ibu merespons dengan sikap
beragam. Sebagian ada yang gerah dengan cap hanya sebagai ibu rumah
tangga, sehingga ada keinginan untuk mencari kerja di luar rumah.
Sebagian
lagi bergeming, dengan alasan toh dengan posisi mereka sebagai ibu
rumah tangga, tidak hanya melulu di dalam rumah. Mereka masih bisa
jalan-jalan ke mal, ikut arisan sana-sini, mengikuti perkembangan
berita (baca: sinetron, telenovela) dan lain-lain.
Sedangkan
untuk ibu yang bekerja di luar rumah, mereka pun beralasan, apakah anak
harus selalu ditunggui. Bukankah yang penting kualitas pertemuannya,
bukan kuantitasnya?
Dengan
respons yang beragam dan masing-masing berusaha mempertahankan posisi,
kaum ibu sering lupa bahwa status itu berkorelasi pada tumbuh
kembangnya anak. Tidak sedikit fakta yang dijumpai di masyarakat bahwa
ketidakpahaman ibu terhadap posisi mereka akan melahirkan generasi yang
broken home, terjebak narkoba, seks bebas, mudah putus asa atau
mengambil jalan pintas dengan bunuh diri, dan berbagai kejahatan yang
tak pernah terpikirkan akan dilakukan oleh usia anak-anak dan remaja.
Ibu dalam Pandangan Islam
Saat
ini umat manusia tengah terjangkiti “virus kapitalisme”. Virus ini
memandang bahwa segala jenis pekerjaan yang tidak menghasilkan uang
dianggap sebagai bentuk penindasan.
Demikian
pula pandangan kaum kapitalis terhadap kaum ibu yang mempunyai tugas
mengandung, menyusui, mendidik, dan mengatur rumah tangga tanpa
memperoleh gaji sesen pun, dianggap sebagai kaum yang tertindas.
Celakanya, hukum Islam dipandang sebagai pengokoh dan legitimator
terhadap “penindasan” itu.
Sekatinya,
apa yang dituduhkan terhadap ajaran Islam tidaklah terbukti sama
sekali. Faktanya, hari ini yang mengatur kehidupan mereka bukanlah
hukum-hukum Islam, namun mengapa justru Islam yang menjadi kambing
hitam?
Sebaliknya,
Islam justru memuliakan posisi ibu dan mendudukkan peran ibu di dalam
keluarga yang boleh jadi lebih penting daripada peran kaum laki-laki.
Sebuah hadits yang cukup populer mengisahkan:
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak memperoleh pelayanan yang terbaik dariku?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Lalu siapa lagi?” Rasul menjawab, “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Lalu siapa lagi?” Rasul kembali menjawab, “Ibumu.” “Lalu siapa lagi,” tanyanya. Nabi menjawab, “Kemudian ayahmu.”
Anas Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Surga itu ada di bawah telapak kaki ibu.”
Maknanya, seorang mukmin dapat meraih ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan masuk surga, dengan jalan meraih keridhaan ibunya serta memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. Sekalipun jika ibunya adalah seorang
non-Muslim, anaknya tetap diwajibkan untuk memperlakukannya dengan baik
dan merawatnya, selama hal itu tidak bertentangan dengan aturan dan
hukum-hukum Allah.
Peran Strategis
Jika
dikatakan keluarga memiliki peran strategis dalam proses pendidikan
anak, bahkan bagi umat, maka peran ibulah yang mampu memberikan
konstribusi besar bagi pendidikan anak sejak dini. Sebagai pendidik
pertama dan utama bagi anak, peran ibu sebagai pencetak generasi sejak
dini tidaklah bisa digantikan oleh siapapun, bahkan oleh sekolah
terbaik dan termahal sekalipun. Pasalnya, mendidik anak bukanlah baru
dimulai ketika anak masuk usia sekolah, namun sudah dimulai sejak anak
usia pra sekolah, bahkan saat masih ada dalam kandungan.
Menjadi
ibu memanglah tidak ringan. Namun penghargaan yang tinggi dari
Rasulullah terhadap peran ibu seakan bisa menjadi “obat bius” terhadap
rasa berat.
Suatu saat Rasulullah pernah memberi nasihat kepada putrinya, Fathimah, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Beliau bersabda:
“Fathimah, jika wanita mengandung anak di perutnya, malaikat pasti memohonkan ampunan baginya dan Allah pasti menetapkan baginya setiap hari seribu kebaikan, menghapus seribu kejelekannya. Ketika wanita itu merasa sakit saat melahirkan, Allah akan menetapkan baginya pahala para pejuang di jalan Allah. Jika ia melahirkan bayi, keluarlah dosa-dosanya seperti ketika ia dilahirkan ibunya dan tidak akan dikeluarkan dari dunia dengan suatu dosa apapun. Di kuburnya ia akan ditempatkan di taman-taman surga, Allah memberikan pahala seribu ibadah haji dan umrah dan seribu malaikat memohonkan ampunan baginya hingga Hari Kiamat.”
“Fathimah, jika wanita mengandung anak di perutnya, malaikat pasti memohonkan ampunan baginya dan Allah pasti menetapkan baginya setiap hari seribu kebaikan, menghapus seribu kejelekannya. Ketika wanita itu merasa sakit saat melahirkan, Allah akan menetapkan baginya pahala para pejuang di jalan Allah. Jika ia melahirkan bayi, keluarlah dosa-dosanya seperti ketika ia dilahirkan ibunya dan tidak akan dikeluarkan dari dunia dengan suatu dosa apapun. Di kuburnya ia akan ditempatkan di taman-taman surga, Allah memberikan pahala seribu ibadah haji dan umrah dan seribu malaikat memohonkan ampunan baginya hingga Hari Kiamat.”
Solusi
Solusi
praktis untuk memberdayakan fungsi ibu sebagi pendidik pertama dan
utama saat ini adalah mengajak para ibu untuk membina diri,
mengoptimalkan peran sebagai pengatur rumah tangga dan mendidik
anak-anak dengan penuh kasih sayang.
Satu
hal yang harus disadari bahwa keberhasilan dari pelaksanaan tugas
seorang ibu ditentukan pula oleh lingkungan masyarakat yang kondusif.
Oleh karena itu, seyogyanya ibu peka terhadap perubahan-perubahan
masyarakat di lingkungan sekitarnya.
Dengan
cara di atas, ibu akan dapat berperan aktif membantu menyelesaikan
persoalan dirinya dan mengarahkan perubahan masyarakatnya ke arah yang
positif (amar ma’ruf). Dan pada saat yang sama, berjuang untuk
menghentikan setiap jenis kebiasaan/kecenderungan umum yang membawa
kehancuran dan malapetaka, yaitu kebiasaan yang bertentangan dengan
perintah Allah (nahi munkar). Wallahu a’lam.
Oleh: Retno Sukmaningrum, Ketua Lembaga Bina Keluarga Qathrun Nada
Publikasi: Majalah Suara Hidayatullah (Rubrik Mar'ah)
0 komentar:
Posting Komentar